Latest Updates

73% Petani Karawang Terindikasi Keracunan Pestisida?


Tidak kurang dari 600 orang petani di Kabupaten Karawang yang dilakukan pemeriksaan Cholinesterase Darah, untuk melihat tingkat pajanan pestisida dalam tubuh mereka, diperoleh hasil yang patut mendapat perhatian serius para stakeholder terkait, tak terkecuali komunitas petani itu sendiri.

Lebih jauh, hasil pemeriksaan tersebut, sebagaimana yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang selaku pihak yang melaksanakan kegiatan pemeriksaan dimaksud, menunjukkan bahwa dari 600 orang petani yang diperiksa, 438 orang diantaranya (73%) terindikasi keracunan pestisida. Populasi petani sampel yang terindikasi keracunan tersebut dikelompokkan dalam 3 katagori tingkat keracunan, yakni keracunan ringan (51,5%), keracunan sedang (21,3%), dan keracunan berat (0,2%). Selebihnya, 162 petani (27%) tidak menunjukkan indikasi keracunan, atau dianggap normal.

600 orang petani responden di atas, tersebar di 5 desa pada 5 wilayah kerja puskesmas di Kabupaten yang terkenal sebagai lumbung padi ini. Kelima wilayah kerja puskesmas itu, berturut-turut adalah, Puskesmas Cibuaya (Desa Cibuaya, 150 petani), Puskesmas Pacing (Desa Sukamekar, 100 petani), Puskesmas Pedes (Desa Jatimulya, 100 petani), Puskesmas Sungaibuntu (Desa Kendaljaya, 100 petani), dan Puskesmas Tirtajaya (Desa Medankarya, 150 petani). Dari lima wilayah ini, satu-satunya yang ditemukan ada indikasi keracunan berat adalah di Desa Kendaljaya, Sungaibuntu sebanyak 1 orang (0,2%) petani. Grafik di bawah ini memperlihatkan lebih rinci kondisi di lima wilayah dimaksud.

Tentu saja 73% petani yang terindikasi keracunan pestisida tersebut di atas “hanya” mewakili 600 petani responden di wilayah terpilih, dan bukan cerminan global untuk seluruh petani di wilayah Kabupaten yang terkenal dengan slogan pangkal perjuangan itu. Namun demikian, angka tersebut selayaknya mendapat perhatian serius, agar tidak menimbulkan dampak buruk yang lebih luas di kemudian hari.

Untuk itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, sebagaimana disampaikan dalam pertemuan Evaluasi Program Kesehatan Lingkungan di Aula Dinkes, 26 Nopember 2014, akan membangun sinergitas dengan unsur BP4 (Balai Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Perikanan) dalam bentuk penguatan materi kegiatan penyuluhan kepada komunitas petani penyemprot, terutama mengenai penggunaan pestisida yang aman, sejak dari tahap penyimpanan, pewadahan, penyemprotan, hingga pencucian alat-alat pasca pemakaian. Sinergitas ini tentu saja turut menjadi bagian tak terpisahkan dari Puskesmas, khususnya petugas Kesling dengan peran-peran Promkes yang lebih "menggigit" lagi. (Kalau saja KELOMPENCAPIR seperti di era orba masih ada, sinergitas dalam kaitan seperti ini akan lebih mudah diejawantahkan)

Sebagai penutup sekaligus kata kunci (atau kalimat kunci kali ya, hehe), penting digarisbawahi hal yang ditegaskan oleh Kepala Bidang P2PL (Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, Dr. Hj. Sri Sugihartati, MM dalam forum pertemuan evaluasi program kesling di atas bahwa “sikap dan perilaku petani dalam menggunakan pestisida sangat menentukan tingkat keamanan penggunaan zat kimia tersebut, tidak saja terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap lingkungan dan atau masyarakat pada umumnya”. Ini penting, tapi sekaligus juga tantangan terbesar, karena hasil wawancara Tim Dinas Kesehatan Karawang dengan 600 petani responden di atas, ternyata 84% di antara mereka tidak menggunakan APD (alat pengaman diri) saat bekerja dengan pestisida. Nah, Lho. (La Ode Ahmad)

Hasil Rekomendasi RMP Dinkes yang tak Boleh Dilupakan



Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 29 Oktober 2014, Puskesmas Cikampek melayangkan surat pemberitahuan kepada seluruh Bidan Praktek Mandiri, Balai Pengobatan, Klinik maupun Rumah Bersalin yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cikampek, perihal Hasil RMP (Review Maternal Perinatal) Internal Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang untuk ditindaklanjuti bersama.

Sesuai dengan Surat dari Dinas Kesehatan Karawang No. 441.8/3092/Dinkes, tentang Surat Edaran Hasil Rekomendasi RMP Internal, Puskesmas Cikampek menyampaikan beberapa hal yang patut menjadi perhatian serius semua kalangan pada umumnya serta segenap jejaring kerja atau mitra Puskesmas Cikampek pada khususnya. Hasil rekomendasi dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Bidan yang baru lulus atau asisten bidan harus didampingi oleh bidan senior/yang lebih berkompoten dalam menangani persalinan 
  • Semua persalinan harus di fasilitas kesehatan, tidak boleh di rumah pasien karena tempat persalinan tidak memenuhi standar 
  • Rujukan pasien (maternal/neonatal) harus dilakukan lebih dini ke institusi rujukan yang tepat agar tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan kegawatdaruratan 
  • Semua bidan yang menolong persalinan harus kompoten dalam melakukan tindakan manual plasenta, KBI, KBE, dan kondom cateter
  • Ukuran iv cateter yang digunakan untuk tindakan infus, minimal No. 20 (lebih dianjurkan No. 18) 
  • Meningkatkan keterampilan bidan dalam melakukan resusitasi cairan.

Selain 6 hal di atas, hasil rekomendasi RMP Internal tersebut menekankan pula 5 jenis kasus yang harus ditangani atau dirujuk ke Rumah Sakit, yaitu:

  1. Kehamilan dengan riwayat SC
  2. Kehamilan dengan letak sungsang
  3. Kehamilan dengan letak lintang
  4. Perdarahan dalam kehamilan
  5. Pre Eklamsia Berat/Eklamsia.

Semua poin penting yang telah menjadi hasil rekomendasi di atas tentu saja dilatar belakangi oleh tujuan luhur untuk penyelamatan Ibu dan anak, khususnya berkaitan dengan upaya-upaya penurunan AKI maupun AKB. Dengan demikian, sangat patut menjadi perhatian pihak-pihak terkait. (OD)

Prof Dinan : Kematian Karena Eklamsia Harusnya Tidak Terjadi


Beberapa tahun belakangan ini kasus Eklamsia memang cenderung meningkat. Tapi kematian karena Eklamsia harusnya tidak terjadi. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Dinan S. Bratakoesoema, SpOG (K) Senin pagi (24/11/2014) di Aula Pangkal Perjuangan RSUD Karawang.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung itu hadir dalam acara Pendampingan ke-3 (P3) terhadap sejumlah Faskes terpilih di Kabupaten Karawang. Acara ini dimotori oleh Gerakan EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) bekerjasama dengan Lembaga Kesehatan Budi Kemulyaan Jakarta.

Lebih lanjut dikatakannya, petugas-petugas kesehatan di perifer, para dokter dan bidan-bidan di Puskesmas maupun bidan-bidan desa atau bidan praktek mandiri, harus bisa memberikan MgSO4 pada ibu yang kondisinya dikhawatirkan akan terjadi kejang. “Untuk kasus-kasus PreEklamsia/Eklamsia, MgSO4 itu primary drug of choice di dunia loh”, tandas beliau.

“Jangan pernah takut memberikan MgSO4. Ingat, obat ini murah tapi bisa menyelamatkan kehidupan”. Beberapa kali pernyataan itu ditegaskan oleh Prof. Bahkan, secara lebih detail lagi beliau menyampaikan tips praktis bagaimana menentukan indikasi pemberian Magnesium Sulfat itu, terutama untuk di tingkat layanan primer.

“Indikasi yang sangat aplikatif, cukup dengan menghitung Respiratory Rate (RR) pasien saja. Sepanjang RR-nya lebih dari 16/menit, langsung masukan itu obat. Tapi ingat, di samping anda harus tersedia Natrium Glukonas sebagai antidotum”, tegas Prof Dinan.

Beliau lebih menekankan  lagi, "jangan terpaku pada indikator urin output. Bagaimana kalian harus mengukurnya dengan peralatan yang terbatas?Untuk mengukur urin output, kalian harus menghitung input-output, harus pasang kateter, urin bag dan lain sebagainya, keburu meninggal pasiennya"  

Ratusan peserta yang hadir dalam acara tersebut, terutama unsur-unsur dari layanan kesehatan primer tampak serius menyimak apa yang disampaikan oleh Profesor yang sudah malang melintang lebih dari 30 tahun di dunia obstetri dan ginekologi itu. “Kalau kalian masih bingung dengan adanya beragam versi cara pemberian MgSO4, silahkan koordinasi dengan POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) setempat, mau menggunakan yang mana, silahkan”, tandas beliau mengingatkan. Yang jelas, terang beliau, kasus kematian karena Eklamsia harusnya tidak terjadi. (OD)